CHAPTER 371: CATATAN ANOMALI
Begitu krusialnya sektor UMKM di negeri ini, sayangnya dari sebuah artikel di Kompas.com berjudul "Saatnya Indonesia Tiru Trump: Industri Kuat, Pekerja Berdaulat" yang diunggah pada 7 April 2025, disebutkan, "...Di saat yang sama, pasar domestik justru dibanjiri barang impor murah, terutama dari China. Mulai dari tekstil, elektronik, furnitur, hingga mainan anak—semuanya masuk dalam volume besar dan harga sangat kompetitif. Industri kecil dan menengah dalam negeri, yang sejak lama menjadi tulang punggung ekonomi rakyat, mulai tumbang satu per satu. Mereka kalah bersaing dalam harga, efisiensi, bahkan tampilan produk. Apa daya, ketika mesin dan bahan baku pun masih harus diimpor, harga produksi di Indonesia tak mampu menandingi barang luar."
"...Ketika produk UMKM kalah di pasar domestik, bukan karena mereka malas, tapi karena dukungan negara nyaris tak hadir. Sudah saatnya Indonesia menata ulang arah ekonominya. Ini bukan tentang romantisme nasionalisme, melainkan tentang keberlangsungan ekonomi dan perlindungan terhadap jutaan lapangan kerja rakyat Indonesia."
Di waktu lain, media ekonomi Kontan pada tanggal 1 April 2025 mengangkat artikel berjudul "Orang Kaya Makin Kaya, Jurang Antara Si Kaya dan Si Miskin di Indonesia Kian Parah" menyebutkan, "...Jurang antara orang kaya dan miskin di Indonesia sangat lebar. Tercatat rekening dengan saldo di atas Rp 100 juta di Indonesia tercatat hanya 1,15% dari jumlah rekening di bank, tapi menguasai 88,01% dari total duit ada."
Ya, saat ayah menulis ini ekonomi di Indonesia lagi gak baik-baik saja. Nilai kurs rupiah terhadap dolar AS terus melemah dan IHSG diprediksi anjlok setelah kebijakan perang tarif Donald Trump.
Di kehidupan sehari-hari, ayah semakin melihat dan mendengar angka kriminalitas meningkat. Padahal kita hidup di negeri sebenarnya tanpa bantuan Avengers.
Para pakar pun sudah banyak yang bertutur tentang gambaran persoalan dan usulan solusinya. Alih-alih edukasi publik, hal ini lebih ke membuat suasana lebih riuh serupa menonton pertandingan derbi sepakbola yang membuat keberpihakan terbelah dua membela kubu timnya masing-masing. Esensi terjauh lumayan bisa mendapatkan wawasan dari satu sudut pandang yang lebih mendalam dan lebih intelektual. Persoalan apakah itu sudut pandang yang tepat atau bukan sebagai solusi belum dapat dapat dibuktikan secara riil, makanya ayah bilang tidak lebih dari sorak sorai pertandingan derbi. Tidak lebih dari oase untuk meneriakkan emosi keberpihakan atau malah ketidakpuasan.
Selebihnya kita kembali ke ranah kehidupan yang lebih riil, mengejar rezeki di medan masing-masing. Harapan pada penyelenggara negara kembali pada kebutuhan personal ataupun kelompok. Kebijakan besar seperti Danantara, soal kembalinya wacana dwifungsi TNI, dan beberapa perencanaan kebijakan yang sempat mencuat di media sosial dan tidak populis, buat sebagian pihak perlu diteriakkan. Optimisme memang perlu tetap dijaga, sambil berharap pemerintah membuktikannya mampu membuat kebijakan yang membuat negeri ini siap menghadapi ledakan demografi dan Indonesia Emas 2045 yang nampaknya saat ini masih jauh panggang daripada api.
Buat pihak yang apatis pada kebijakan pemerintah, tentu bukan berarti tanpa optimisme pula. Dengan terapaan arus informasi yang semakin kencang dan kuat, memang ada baiknya mengurangi konsumsi hal-hal tersebut. Arus informasi berupa persoalan tanpa solusi bukannya malah mudah mengundang penyakit ketimbang sekadar wawasan?!
Hal-hal sederhana yang lebih riil tentu tetap juga dapat bermuatan optimisme, menjalani hari dan relasi sebaik-baiknya, mengerjakan tanggungjawab dengan rasa syukur dan berkah tentu juga merupakan hal positif.
Tidak semua orang diberi kemampuan untuk mengubah dunia, namun seyogyanya setiap orang diberkahi kemampuan untuk mengubah dan mengoptimalkan dirinya sendiri, tentu saja dalam hal positif.
Itu saja dulu, sudah adzan Ashar. Ayah mau sholat dulu..
Komentar
Posting Komentar