CHAPTER 376: JANGAN KEHILANGAN JATI DIRI
Kemarin ayah baca semua pendapat di sosial media, "Pemerintah gak bantu masyarakatnya cari dan mendapatkan pekerjaan, giliran masyarakatnya dapat pekerjaan, eh, dipajaki."
Ya, apa bedanya pemerintah model begini kayak tukang parkir liar yang ngumpet saat kendaraan masuk ke sebuah kawasan, dan tiba-tiba muncul saat kendaraannya mau keluar dari areal tersebut.
Sebenarnya sudah lama ayah akhirnya tahu, mungkin sejak dari bangku kuliah di Tamalanrea KM. 10 dulu, kalau ternyata penjajah terkejam di sepanjang perjalanan bangsa ini yah Belanda-Belanda ireng alias ternyata orang-orang kita sendiri, seperti halnya si bahlul yang gak disalamin pak presiden pas mau naik ke pesawat.
Orang-orang oportunis yang pantai bersilat lidah dan menganggap orang-orang negeri ini tetap di strata goblok. Padahal di tengah silent majority yang nampaknya tumpuh pesat, tingkat kritis dan kepekaan mereka sebenarnya semakin meninggi. Hanya saja percuma bicara di dalam benak mereka, karena suara tanpa solusi hanya menguras emosi dan energi. Tidak baik untuk kesehatan mental.
Jadi lebih baik perkaya wawasan, setidaknya untuk diri sendiri, biar makin lebih paham situasi dan gak lebih mudah dibodohi oleh cecunguk-cecunguk jelek model si bahlul.
Di era kemajuan bangsa-bangsa lain, para penyelenggara negara dan para intelektual terkemuka kita masih banyak berkutat pada hal-hal yang tidak substansial dan solutif. Soal ijazah palsulah, soal kekayaan sumber dalam di kawasan wisata yang dikeruklah.
Ya, makin gak sehat secara pemikiran dan mental.
Entah apa yang bisa dibanggakan oleh negeri ini, selain kualitas daya tahan dan kemampuan menerima segala kondisi para masyarakatnya. Sejarah memang belum pernah berjejak pada timbal balik kasih sayang, atau setidaknya rasa terima kasih para pemerintah kepada masyarakatnya. Mereka sudah terlalu utas di pola-pola njelimet dan tamak, serakah, culas, dan tanpa hati.
Bersedih tentu bukan solusi, meski rasa frustasi acap kali menggema dan mengemuka, tapi daya tahan untuk melanjutkan hidup adalah keharusan yang tidak bisa dikubur sebelum waktunya tiba. Kita harus tetap berjalan, tertatih, ataupun sekalipun terseok tidak ada pilihan lain. Masyarakat kita bukan masyarakat yang lemah secara mental, daya tahan kita sudah diuji sepanjang perjalanan republik ini, bahkan sebelum masa itupun sebenarnya.
Berhenti bukan pilihan. Kita harus mampu mengobati rasa ketidaknyamanan yang timbul seringkali, lalu mengkonversinya sebagai amunisi untuk justru meletupkan energi baik disadari atau tidak. Kita harus bisa tetap tidur pulas, makan secukupnya, karena kesehatan fisik dan mental semakin menjadi tanggungjawab diri sendiri. Bayangkan saya si menkes yang makin banyak bacot itu bilang soal biaya berobat tetap harus ditanggung 30% meski sudah punya akses asuransi. Lha, goblok lantas buat apa bayar premi asuransi lagi, tolol?!
Eh, gak boleh marah. Astagafirullah, tahan emosi yang bisa merusak kejernihan pola pikir, cara pandang, dan mental. Kembali ke inti persoalan.
Kita hanya perlu memastikan kejernihan cara pandang dan pola pikir, di tengah situasi yang makin gak baik-baik saja dan bentuk tantangan yang makin banyak, agar kita dapat memastikan kita masih melaju sepelan apapun itu. Toh, kalaupun masih harus bertahan di titik yang sama, kita masih punya banyak kapasitas kesabaran untuk menjalani dan menikmati proses yang ada.
Ya, bukankah itu salah satu pilihan mendasar sebagai manusia, bahkan kita tetap berdetak dan hidup menjalani tantangan yang ada, karena kapasitasNya-lah yang menentukan plot twist yang tidak terduga dan bisa membuat kita tersenyum di setiap ujung jalan.
Ya, kita masih punya Tuhan yang senantiasa melindungi kita hambaNya, dan memberikan kejutan hidup yang tidak disangka-sangka.
Percayalah Tuhan itu ada.
-
Pejaten, 17 Juni 2025
Komentar
Posting Komentar