CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

Menjalani keputusan menjadi driver BlueBird di awal Maret hingga pekan pertama Mei 2024, adalah keputusan pekerjaan yang tersulit bagi saya di sepanjang hidup, sejauh ini. 

Ya, hanya ada beberapa fakta yang melandasinya, dan meski hanya beberapa fakta, namun itu sangat berat dihadapi. 

Pertama, pertama kali dalam hidup kena penyakit ambeien stadium 4. Saya sempat berpikir ini tidak akan pernah bisa sembuh, dan akan menetap seumur hidup kecuali dioperasi pengangkatan. Penyebabnya, mungkin karena banyak faktor. Di antaranya tetap menjalankan intermittent fasting di bulan Ramadhan ini, kurang istirahat, kurang minum air putih, kurang makan makanan berserat. Kurang duit, itu juga hehehe...

Kedua, aku kehilangan anak di kandungan biniku. Yang ini aku putuskan dengan sadar. Keadaan ekonomi yang tengah sangat terpuruk, ditambah usiaku yang semakin menua, sudah cukup menjadi landasan keputusan untuk tidak menghadirkan anakda di bumi ini. Kasihan dia, kasihan kami juga sebagai orang tua, kasihan juga saudara-saudaranya yang pasti mengalami pergolakan bathin tidak mudah ketika ekonomi kedua orang tuanya tengah porak-poranda. 

Ketiga, ini yang paling fatal, adalah bekerja sebulan nyaris tidak ada yang bisa dibawa pulang hasilnya. Padahal kerap bekerja antara 13-15 jam sehari, ataupun di minggu-minggu terakhir durasi 8-10 jam pun hasilnya sama saja. Tidak ada yang bisa diharapkan lagi di pekerjaan ini. 

Sempat aku berpikir, penyebabnya adalah ekonomi masyarakat ibukota dan sekitarnya tengah paceklik karena habis pulang kampung. Namun, seiring waktu, saya berpikir ada beberapa faktor lain yang jadi penyebab. Di antaranya mungkin inflasi atau menurunnya kemampuan daya beli masyarakat kebanyakan jadi membuat mereka menahan diri bepergian dengan taksi yang ongkos atau biayanya agak lebih mahal ketimbang ojol, KRL, ataupun MRT. 

Penyebab lainnya mungkin jumlah pengguna taksi memang tidak sebesar unit operasional yang dimiliki BlueBird. Jadi, sopir taksi yang jumlahnya kayak laron di musim hujan harus berebutan penumpang. Alhasil, untuk memenuhi target setoran Rp 700 ribu per hari, agar dapat membawa pulang hasil minimal Rp 150 ribu - Rp 200 ribu oleh tiap sopir harus siap keluar di jam awal pukul 02:25 dinihari, dan berhenti di penghujung waktu pukul sebelas malam di hari Minggu - Kamis, atau di pukul 12 malam di hari Jumat malam dan Sabtu malam. Sebuah jam kerja yang terlalu panjang untuk dilakukan dalam durasi yang lama. 

Maka, setelah melalui pergulatan batin dan pergolakan pikiran di dalam diri, di hari Sabtu pagi 18 Mei 2024 ini kuputuskan untuk berhenti. Ya, belum ada pintu baru yang terbuka jelas. Tapi, aku selalu masih yakin dan percaya, jika berani menutup satu pintu, maka insya Allah satu pintu baru akan terbuka. Semoga. 

-

Pengalaman menjadi Sopir BlueBird

Apa yang kuceritakan ini memang sifatnya sangat subyektif, dan bisa sama sekali sangat berbeda dari sudut pandang atau cara melihat sopir BlueBird kebanyakan yang masih bertahan di profesi ini. 

Saya sangat menghargai perbedaan sudut pandang ini, saya pun berharap sudut pandang saya ini tetap dihargai, setidaknya dimaklumi sebagai hak individu. 

Memang tidak lama, hanya dua bulan beberapa hari, saya menjalani profesi ini. Namun, tidak sedikit saya sempat berinteraksi dengan banyak driver BlueBird lainnya. Bahkan sudah ada yang jelang usia pensiun, dan telah berada di sana lebih dari 20 tahun. 

Ada yang mengaku bahkan sudah bisa beli rumah, dan juga membeli mobil unit eks taksi BlueBird selama menjalani profesi ini. Ada satu cerita dari seorang penumpang, jika ada pernah naik BlueBird yang bisa menyekolahkan anaknya hingga lulus S2. Hebat. 

Cerita-cerita hebat itu saya sangat apresiasi sebagai sebuah pencapaian-pencapaian hebat. Bukankah di banyak fakta, ada banyak profesi orang tua dengan pemasukan lebih rendah dibanding driver BlueBird bisa menyekolahkan anaknya hingga di perguruan tinggi terbaik, baik di Indonesia bahkan ada yang sampai luar negeri (meski yang ini kebanyakan karena jalur beasiswa atas prestasi anaknya yang luar biasa). 

Tapi itu cerita masing-masing orang. Apa yang saya lihat dan alami selama dua bulan terakhir, agak berbeda. Mungkin situasi dan keadaannya sudah berubah. Entahlah, bagaimana pastinya...

Apa yang saya lihat dan interpretasikan, dunia ini adalah ruang yang suram dan muram. Jika ada pilihan lain, sebaiknya jangan. Mental pun harus kuat banget, fisik juga. Ya, karena jam kerjanya bisa sangat panjang. 

Di hari pertama saya orientasi (istilah "narik" kalau di BlueBird), saya sudah mendapat dua kali rintangan yang tidak mudah. Paginya, pas sudah jalan jauh meninggalkan pool, saya baru menyadari jika kabel charging di area pengemudi tidak berfungsi dengan baik. Alhasil, saya mesti menggunakan kabel charging buat penumpang yang ada di dekat tuas transmisi. Lalu, sorenya giliran headunit yang menjadi sentral IOT tiba-tiba ngadat. Setelah menunggu berjam-berjam, baru ada saran solusi dari pool agar saya menuju pool Warung Buncit agar dapat dibantu oleh teknisinya. Baru selesai setelah Magrib. 

Lalu, saya pernah dua kali mengalami kebocoran ban saat orientasi, dan parahnya keduanya terjadi di siang hari terik pada momen bulan puasa Ramadhan lalu. Berat? Masa perlu dijelaskan lagi?!

Ya, memang dari beberapa driver senior yang saya lihat dan dapatkan ceritanya bisa menghasilkan setoran di atas satu rupiah, bahkan ada yang kabarnya bisa tembus di atas dua juta rupiah rata-rata per hari, kondisinya benar-benar lusuh dan lelah. Nampak jelas, jika waktu mereka benar-benar habis di belakang setir kemudi, tidur di dalam taksi. Dan bisa disebut, unit taksi operasional yang mereka bawa masing-masing adalah rumahnya, mengingat waktu terbanyak mereka dihabiskan di sana. 

Ada istilah 2.0, yaitu driver BlueBird yang diberi akses oleh pool-nya untuk membawa unit mobil selama dua hari dan pulang setor setelah itu. Ada juga istilah "Kalong" yaitu driver yang orientasi atau memiliki jam operasional mulai siang hingga besok pagi, atau dengan kata lain mereka menghabiskan waktu malam bersama unit taksi yang mereka bawa masing-masing. 

Keras? Ya, pasti. Di negeri Konoha yang suasananya mirip Gotham City ini, rasa aman adalah sesuatu yang mahal, sulit diakses oleh mereka. Bukan rahasia lagi, berurusan dengan aparat di negeri ini umumnya UUD. Bahkan, apesnya mereka adalah mangsa Dishub yang siap "menerkam", jika parkir sembarang di jalan publik. 

Perlu mental dan jiwa yang kuat untuk menjalani profesi ini, fisik juga tentu. Parahnya, banyak yang merokok dan ngopi di sela-sela waktu menunggu orderan penumpang. Alih-alih, pertimbangan kesehatan pun sepertinya kerap luput dan bukan lagi prioritas.

Profesi ini memang terhitung rentan, dengan status sebagai mitra, jelas tidak ada kewajiban untuk menyediakan proteksi dan asuransi dari perusahaan. Artinya, nasib setiap pengemudi sepenuhnya dikembali ke tiap-tiap individu dan Tuhannya. Di jalan yang macetnya warna merah tua di Google Maps, khususnya di waktu pagi jam berangkat kerja dan di waktu petang di waktu jam pulang kerja, adalah makanan sehari-hari. Otot dan urat saraf kaki kiri harus siap-siap bekerja ekstra dengan pedal kopling. Mata harus senantiasa terjaga dan awas pada sekeliling kendaraan. Kemampuan refleks pun dituntut jika ada pengguna jalan lain yang tiba-tiba bermanuver tiba-tiba. Setiap insiden dan menyebabkan kerusakan kendaraan, maka siap-siap menanggung risiko pemotongan pemasukan di pool-nya masing-masing.

Ya, tidak ada pekerjaan yang tanpa risiko. Namanya juga hidup, kalau gak mau berjuang dan gak berani hadapi konsekuensi hidup, hanyalah mengantarkan kita sebagai pengecut dan tidak kemana-mana di ruang hidup yang terus bergerak. 

Namun, risiko menjadi sopir BlueBird bukanlah risiko yang bisa kuterima dan kuhadapi. Seperti kubilang di narasi sebelum ini, menjalani pekerjaan dengan waktu kerja antara 10-15 jam per hari, namun nyaris tidak membawa pulang hasil selama sebulan penuh, seperti mengulang peristiwa bodoh setiap hari.

"Kalau cuma 50 ribu (rupiah) per hari, mana bisa cukup buat biaya hidup, makan, dan sekolah anak-anak, ayah!" kata biniku. 

Kata-kata biniku itu kerap tergiang di tempat ngetem favoritku di pinggir rel KRL dekat rumah Denny Cagur, antara Stasiun Pasar Minggu dan Stasiun Pasar Minggu Baru, saat ngetem dalam waktu lama sembari menunggu IOT yang makin langka berbunyi. 

Pernah juga aku menunggu lemas selama enam jam di halaman sebuah Masjid di bilangan Jatibening Baru - Bekasi, menunggu IOT yang tidak pernah kunjung bunyi. 

Ya, daripada mengulangi kebodohan seperti ini, kuputuskan untuk berhenti. Bukankah hidup hanya titipan dan sementara?! Bukankah manusiawi jika tidak kuat lagi dan menyerah, karena memang ada batasnya?!

Sabtu, 18 Mei 2024, ya kuputuskan untuk berhenti!

Semoga pintu baru segera terbuka, Amiiin!

  

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 372: RASA MALU DIKALAHKAN OLEH RASA BUTUH

CHAPTER 183: PENGALAMAN LARI PERTAMA KALI DI ATAS DUA JAM

CHAPTER 344: NELANGSA, BERSYUKUR, JALANI, HADAPI!