CHAPTER 352: BELAJAR SEMAKIN BERDAMAI!

Entah seberapa banyak kali mengemuka pertanyaan ini di dalam kepalaku sejak lama, "Mau kemana lagi setelah ini, Der?"

Seperti biasa jawaban yang seketika mengemuka, "Entahlah, jalani saja."

Mungkin ada benarnya kata seorang pamanku, "Salahnya kita sejak kecil adalah tidak punya cita-cita. Mungkin karena terlena dengan keadaan di masa itu."

Atau mungkin juga karena lingkungan memang tidak memotivasi. Hasilnya, benar-benar mengalir, dan berlangsung hingga kini di usia yang tidak lagi muda. 

Tapi waktu kan tidak mungkin bisa diputar ulang, meski upaya perbaikan diri dan cara pandang tentu selalu masih ada seiring waktu. 

Meski tumbuh tanpa cita-cita, jangan pernah ragukan kemampuan diri untuk terus bertarung. Perjalanan hingga ke tanah rantau ini, meski pemahaman tentang kampung halaman sendiri sebenarnya tidak pernah utuh, menjadi bukti yang cukup kuat tentang kekuatan mental yang tetap bertumbuh. 

Mengais dari bawah bukanlah jadi soal. Di bawah langitNya, aku selalu yakin apapun yang terjadi tentu atas sepersetujuanNya. Pahit dan manis, saya selalu atau setidaknya selalu berusaha untuk percaya jika semua terjadi atas sepersetujuanNya. 

Dan ya, takdir yang kujalani tidak dapat dikatakan manis dan lembut, ataupun halus. Takdir ini keras, rasanya lebih banyak demikian yang kurasa. Mungkin sebuah kesimpulan yang cengeng dan cemen, tapi dalam banyak kesempatan memang memaksaku mengerang, meski hanya berteriak dalam hati. 

Kapasitas diri yang rata-rata, ditambah alur kenakalan di masa muda, terlalu banyak salah jalur di saat remaja, adalah salah satu penyebab rasanya jika pencapaian yang ada seperti ini. Tidak merutuki, lebih kepada harus menerima alur takdir yang ada dan dihadapi dengan semakin ikhlas.

Enggak nrimo juga, segala kemampuan terus diupayakan untuk merangkak naik, ataupun sekadar tetap berupaya maju meski tertatih-tatih tetap diupayakan di sepanjang waktu. Ya, tidak ada istilah di dalam kamus hidupku untuk sekadar bertahan. Itu bukan filosofi pertarungan yang kupahami sejak dulu, karena bertahan tidak akan mengurangi alur serangan dan rintangan yang datang dari segala penjuru di depan sana. 

Jadi melanjutkan pertahanan adalah satu-satunya cara untuk melanjutkan hidup. Semakin ke sini dalam beberapa tahun terakhir memang semakin tersengal-sengal, namun karena sepersetujuanNya juga alhamdulillah bisa kami lalui hingga sejauh ini. Ya, kami, karena di sini selain ada aku dan Bu Yon, juga ada empat anak kami yang sudah luar biasa dapat bertahan sampai sejauh ini. 

Aku selalu berusaha meyakinkan dalam doaku, panjatku, pintaku, "Semoga segala sesuatunya dalam kehidupan kami, terkhusus anak-anakku tentu, dapat berakhir selalu dalam kebaikan, kebahagiaan, dan pastinya berkah rahmatNya, Aamiiiin Allahumma Aamiiin." 

Semakin ke sini, meski kualitas ujian hidup tidak semakin mudah, rasanya kami jadi semakin dapat lebih tenang menghadapinya. Entah mungkin karena semakin terbiasa menghadapi badai. 

Sebagai kepala keluarga, aku tentu sesekali merasa yang paling bertanggungjawab dan juga sesekali merasa bersalah karena hanya memiliki kemampuan yang dapat dikatakan terbatas untuk menyediakan fasilitas terbaik untuk mereka. 

Tapi senantiasa merutuki diri sendiri karena hal itu, sangat kusadari sangat tidak bijak. Aku masih selalu percaya, jika keputusan terbaik tidak hadir dalam pikiran dan hati yang keruh, maka hal-hal negatif sebisa mungkin aku selalu berusaha buang jauh-jauh. 

Meski memiliki kapasitas energi dan kemampuan sangat terbatas, di usia yang berjalan makin menua, aku harus bisa selalu tenang, agar bisa mencari jalan keluar terbaik apapun risikonya.

Segala cara, segala jurus, kuyakini hanya bisa didapat secara optimal dalam situasi diri yang tertenang. Deru masalah memang makin keras menekan, tapi bukankah sekeras apapun tekanan hidup, keputusan akhir tetap dalam sepersetujuanNya. 

Jadi, tetaplah tenang, bertarunglah sebaik-baiknya seperti biasa, selebihnya biar Semesta yang menentukan hasil akhirnya...

Semoga berakhir baik, Aamiiin Allahumma Aamiiiin.

-

Bogor 28 Mei 2024 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 372: RASA MALU DIKALAHKAN OLEH RASA BUTUH

CHAPTER 183: PENGALAMAN LARI PERTAMA KALI DI ATAS DUA JAM

CHAPTER 344: NELANGSA, BERSYUKUR, JALANI, HADAPI!