CHAPTER 351: TERIMA KASIH, BU YON!

Sudah beberapa hari terakhir ingin menulis tentang Bu Yon, sebuah pencapaian terbaikku di hidup ini. Terima kasih sangat sudah menemani di naik turunnya alur kehidupan selama hampir 17 tahun terakhir. 

Tidak mudah alurnya. Ya, ada senangnya, ada bahagianya juga. Namun, pahit dan getirnya juga banyak telah mewarnai perjalanan hidup kami. Terima kasih telah masih percaya, dan tetap bersedia berjalan bersama. 

Tidak mudah, di jalur pertempuran yang telah dilalui dan sedang dilalui saat ini. Sebuah alur pertarungan yang luar biasa, entah berapa kali kita berdua sudah tersengal-sengal. Ya, untungnya kami masih sangat mempercayai jika Tuhan itu ada, dan sebisa mungkin kami tetap berterima kasih padaNya dapat melalui beragam badai kehidupan ini secara bersama-sama. 

Sebagai petarung, kami berdua tentu sangat menyadari jika kemampuan kami sangatlah terbatas, bisa dibilang rata-rata orang kebanyakan. Jadi kalau bisa bertahan sejauh ini, tentu sangat karena intervensi dan belas kasih Tuhan. 

Ya, urusan keterbatasan finansial adalah problem yang paling sering muncul sebagai rintangan kehidupan kami sebagai sebuah keluarga. Namun, seperti kata orang bijak, "Pertolongan Tuhan acap kali datang di tikungan terakhir."

Kami mengalami keajaiban seperti ini berkali-kali, sudah tidak terhitung jumlahnya. Pertolongan Tuhan datang di saat kami berdua berpikir sudah tidak ada jalannya, di saat kami berpikir dan berpandangan tengah berhadapan dengan jalan buntu atau tembok penghalang yang sangat sulit dilalui, bahkan cenderung mustahil dilewati. 

Sebenarnya, tentu saja kami berdua bukanlah kategori pemalas dan betul-betul senantiasa hanya berharap pada pertolongan Tuhan, tanpa melewati jalur pertarungan dengan kemampuan terbaik kami. Ya, tentu saja dengan kemampuan bertarung yang terbatas rata-rata itu, namun seyogyanya kami berdua sudah selalu bertarung dengan kemampuan terbaik di setiap kesempatan. 

Kalau terluka, terpukul, terjajal, terpental, terjengkang, hingga mengalami rasa kesakitan yang amat sangat juga pernah kami lalui. Ya, kami juga sadar di setiap pertarungan, kami juga menjadi pribadi yang lebih kuat dan lebih tenang. Setiap pertarungan yang kami lalui memang tidak makin mudah, cenderung malah makin tambah sulit. Itulah, sebisa mungkin kami tidak pernah berusaha berterima kasih pada Tuhan pada karuniaNya yang tidak terhingga, hingga kami berdua dapat melalui banyak pertarungan. 

Caranya yah sederhana saja, semisal senantiasa Shalat Fardhu 5 waktu di awal waktu. Aku juga sudah beberapa waktu berusaha tetap konsisten ke Shalat Tahajjud. 

Kembali ke Bu Yon, sesuai tema narasi utama ini. Bu Yon itu menurutku adalah perempuan tercantik dan terbaik yang pernah kutemui dan kumiliki. Tentu saja, jangan ada yang berkomentar, bertanya, atau membandingkannya dengan sosok Ibu Kandungku. Itu hal yang lain. Salah satu alasan untuk tidak dipertanyakan atau diperbandingkan, adalah karena Ibu Kandungku adalah Takdir yang sudah ada sebelum aku ada di bumi ini. Semoga dapat dimengerti penjelasan singkat ini hehehe...

Bu Yon itu sekitar sembilan tahun lebih dua bulan, nyaris tiga bulan, lebih muda dibanding aku. Ya, dia daun muda yang teramat polos berkenan menerima pinanganku dulu. Semacam keajaiban atau bahkan mukjizat dari Tuhan buatku. 

Sikap dasarnya cenderung keras dan cukup ego, mungkin karena dia juga adalah anak pertama, sama dengan aku. Namun, seiring waktu, Bu Yon pun makin dewasa dan bijak. Kegigihannya untuk berkembang itu sangat terasa di kemampuannya dalam mengolah makanan. Ya, luar biasa menurutku. Dari yang dulu tidak layak makan, hingga kini bisa diandalkan untuk menghadirkan menambah pemasukan. 

Ada di satu waktu, ada investor yang berkeinginan mendukung Bu Yon untuk mengembangkan usaha kulinernya, namun setelah berdiskusi dengan denganku, Bu Yon memilih melewatkan tawaran itu. 

Dalam beberapa hal kami juga memiliki kesamaan satu sama lain, selain garis wajah kami yang sudah banyak orang bilang memang mirip kayak kakak-adik dan berjodoh, kami juga sama-sama lebih suka di rumah. Kalau keluar jalan, kami juga suka berkeliling berdua berburu target kulineran yang baru dia dapatkan di internet. Pernah sampai Jogja, Bali, dan Makassar, namun paling sering yah sekitar Bogor yang tidak jauh dari rumah kami.

Bu Yon juga termasuk ibu rumah yang telaten dan cekatan. Jika dapat diberi nilai, ia minimal dapat angka 8,5 dari skala 10. Bukan karena aku suaminya, tapi karena Bu Yon memang sejago itu. Bayangkan, sudah sejak anak ketiga, kami tidak lagi menggunakan jasa ART. Dan kini, ia mampu merawat seorang suami dan empat buah hati kami seorang diri. Tentu bukan sebuah pekerjaan dan dedikasi yang mudah. 

Lantai rumah kalau lengket sedikit, pasti langsung dipelnya. Ia juga senantiasa menjaga kebutuhan makan kami tetap terpenuhi, dan sebisa mungkin tetap enak disantap. "Jangan sampai kelaparan, kalau lapar yah harus makan," katanya sering kali. 

Kini, kakak Oka dan abang Rasy yang paling kuat makannya, mungkin karena dalam masa pertumbuhan. 

Sebagai istri, aku bisa memberinya nilai 9 dari skala 10. Demikian pula untuk peran sebagai seorang Bunda dari empat orang anak. 

Terima kasih yah, Bu Yon. Aku selalu berharap dan berdoa, semoga aku bisa membahagiakanmu, sebisa mungkin semampu aku. Kurasa, dengan kebaikanmu sejauh ini, tidak salah jika aku menempatkanmu sebagai prioritas utama di sisa hidupku. 

Bahkan pintaku, semoga Tuhan berkenan menyandingkan kita abadi, bahkan di kehidupan-kehidupan lainnya. Semoga cinta kita berdua tidak bertepi, Aamiiiin Allahumma Aamiiin. 

Bogor, 27 Mei 2024 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 372: RASA MALU DIKALAHKAN OLEH RASA BUTUH

CHAPTER 183: PENGALAMAN LARI PERTAMA KALI DI ATAS DUA JAM

CHAPTER 344: NELANGSA, BERSYUKUR, JALANI, HADAPI!