CHAPTER 363: AKU KEHILANGAN RASA KEGEMBIRAAN

Rasanya sesak, tapi aku berusaha untuk tegar. Menjalani sebisanya, sekuatnya..

Ya, terasa nyaris tenggelam. Ketinggian sudah sampai di leher. 

Tidak kupikirkan dalam lagi sekitar dua tiga bulan terakhir, jalani setenang mungkin, tidak banyak berpikir. 

Namun, diri tidak bisa dibohongi. Aku kehilangan satu hal fundamental dalam waktu beberapa belakangan ini, aku kehilangan rasa kegembiraanku. 

Menjalani tanggung jawab dan peran sebagai orang tua, sebagai suami sebaik-baiknya, sekuat-kuatnya. 

Rutinitas bekerja harus tetap disyukuri sebagai nikmat, di tengah kondisi sosial ekonomi masyarakat sekarang ini. Bisa bekerja dan berpenghasilan, meski tidak banyak hasil yang bisa dibawa pulang dari upah, tetap adalah berkah dan nikmat tidak terkira. 

Ya, mungkin memang manusia adalah mahluk yang tidak bisa puas, karena pada faktanya yang kualami prosesnya tidak berhenti sampai di situ. 

Dialektika di dalam diri masih terus terjadi. Aku menjalani pekerjaan dalam situasi ketidakpastian. Setibanya di tempat kerja, aku harus merencanakan sendiri pola kerja, supaya tidak ada kesan aku makan gaji buta. Terkadang, pekerjaan datang bukan dari atasanku, tapi lebih sering dari pamanku yang jadi orang nomor satu di grup perusahaan ini. 

Entah kenapa di mata atasanku, kualitas anak magang pun terkesan sangat ada di atasku. Mereka diajak meeting dan diberi tanggungjawab kerja yang lebih banyak dibanding ke aku. 

Gak jadi soal besar sih, semakin ke sini semakin aku terbiasa dengan pola kerja seperti ini. Meski di sisi lain, aku jadi mulai sering bertanya-tanya, apakah iklim kerja seperti ini sehat untuk kondisi seperti ini. 

Lalu semakin ke sini, semakin kulihat pula pada tenaga-tenaga andal kepercayaan atasanku terkesan lebih mengulur kerjaan. Semangat kerja mereka pun mengendur, lebih banyak bermain mengisi waktu di waktu jam kerja sampai saatnya pulang tiba. 

Sampai di situ saja soal iklim di tempat kerja. Aku ingin melanjutkan tentang proses kehidupan yang tengah kujalani dan telah menyebabkan kehilangan rasa kegembiraan. 

Setiap hari kerja naik berjibaku di dalam KRL, meski sekarang harus lebih bersyukur karena bisa lebih cepat tiga stasiun. Sebelumnya turun di Cawang, sekarang cukup sampai stasiun Pasar Minggu dan lanjut dengan Busway 6U jurusan Blok M - Pasar Minggu. Jika beruntung gak sampai lima menit Busway-nya ada, namun jika lagi sial bisa sampai setengah jam menunggu.

Ya, ini Jakarta, pusat kemacetan di negeri ini. 

Setibanya di rumah. Hal yang paling menyenangkan tentu ketika bersua Wyatt si bungsu. Dengan istri dan kakak-kakaknya aku seperti keluh, kehabisan kata-kata. Maka, hal terbaik setelah Shalat Isya adalah tidur, lalu bangun jam 3an dinihari buat Tahajjud. 

Ya, tidur adalah hal paling membahagiakan. Kedua adalah ketika bisa lari pagi juga hal menggembirakan. Tapi tetap saja belum cukup, dan rasanya aku tahu kenapa aku kehilangan kebahagiaanku saat ini. 

Besar alasannya, karena belum ada momen terobosan baru. Aku kehilangan momen kompetitif, kehilangan grip, kehilangan momen adrenaline pumping. Aku seperti terperangkap dalam momen stagnasi yang cukup panjang, terombang-ambing dalam momen ketidakpastian dan roller-coaster kehidupan. Menghadapinya, aku harus bisa menata kesabaran yang lebih baik dan berkualitas, harus bisa lebih sabar dalam jangka waktu panjang. 

Sambil tetap berharap ada momentum untuk berlari kencang dan berprestasi lagi lagi, tentu saja dalam hal yang baik..

Itu saja dulu..


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 372: RASA MALU DIKALAHKAN OLEH RASA BUTUH

CHAPTER 183: PENGALAMAN LARI PERTAMA KALI DI ATAS DUA JAM

CHAPTER 344: NELANGSA, BERSYUKUR, JALANI, HADAPI!